Tetapi peliknya, para pengikut Ibnu Taimmiyah yang juga ikut-ikutan
mengatas namakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus
bersikap keras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain,
mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan ikutan Ibnu Taimiyah yang
jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan ulama Ahlussunah beserta "ajaran
rasmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berfikir, jalan pintas yang paling
aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah.
Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk
menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah.
ALI BIN ABI THALIB adalah salah seorang sahabat terkemuka
Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik
melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, mahupun melalui hadis yang
secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak
sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari pendekatannya
dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang
diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan
dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual mahupun sosial keagamaan.
Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi
kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, mahupun Syiah- bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbezaan pendapat
antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi
yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.
Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah
tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan
beliau.
Kelemahan
Ali di Mata Ibnu Timiyah:
Di sini akan disebutkan beberapa pendapat
Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada peribadi Ali:
Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu
Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih
(hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan
dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan
pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatas namakan beberapa
ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas
dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan
dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin
yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikeranakan ungkapan
sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan
as-Sunnah”[6].
Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak
ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah
menghairankan, kenapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai
‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan
ungkapan para salaf soleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standard Ahlusunnah
sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya.
Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi
baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya.
Jika ia tahu, tetapi tetap bersikap keras untuk menentangnya-padahal keutamaan
Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standard Ahlusunnah yang memiliki sanad
hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya, maka terserah
Anda untuk menyikapinya!
Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Kerana
kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah kerana kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali?
Ataukah kerana kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara
Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau
Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah peribadi yang gitu
menghidupkan kembali ajaran salaf soleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan
dengan ungkapan salaf soleh?
Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang
keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf soleh yang diakui sebagai
panutan oleh Ibnu Taimiyah:
Sabda Rasulullah saw: “Telah ku nikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan
sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari
sisi kebijakan…”.[8]
1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi
umatku atas segala hal yang kerananya aku diutus setelahku”.[9]
2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbahagi menjadi sepuluh
bahagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bahagian, sedang segenap
manusia satu bahagian (saja)”.[10]
3. Berkata ummul mukminin Aisyah: “Ali adalah peribadi yang paling
mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]
4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam
kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]
5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan
dari sepuluh bahagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu
bahagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain
ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding
dengan ilmu Ali, sebagaimana setitis air dibanding tujuh samudera”.[14]
6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf.
Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan
batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan
batin tersebut”.[15]
7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan
terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –iaitu Ali- adalah peribadi yang paling
mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah
saudara Rasul dan memiliki pengetahuan dalam keislaman. Jika dari sisi
kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah peribadi yang paling nampak zuhud dan
paling baik ibadahnya”.[16]
8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, peribadi yang kemarin
tiada satupun dari peribadi terdahulu dan akan datang yang boleh mengalahi
keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya
yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain
perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas peribadi yang dinukil tadi.
Kerana maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka
mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) yang bertentangan
dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud.
Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan
ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud.
Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil
pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan
buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas
beberapa pemuka Ahlussunah.
Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan
kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang
berkaitan dengan keutamaan Ali.[18]
Di sini akan disebutkan beberapa contoh
ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:
1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali
merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]
2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota
ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]
3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik
dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan
(kebenarannya)”.[21]
4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan
ungkapan batil”.[22]Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali
mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu
Bakar”.[23]
5. Keadilan Ali: “Sebahagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok
Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari
keluarganya mahupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan.
Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara
global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak
tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa)
Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]
Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan:
“Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan
banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]
Boleh dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri
atas peribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat
hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi
panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal (sebagai pendiri
mazhab Ahlul) Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai
ajaran dan metod mazhabnya (juga beberapa imam ahli hadis lain) seperti Ismail
al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang
dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan peribadi satu sahabat
pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan peribadi Ali. Ali tetap bersama
kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]
Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan,
dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu
Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:
1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak
seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]
2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat,
juga (kerana) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar
peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di
dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi peribadi yang mendapat
kemuliaan di akhirat”.[28]
3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash
dari Rasul.[29]Semua itu hanya didasari oleh pendapat
peribadi. Sedangkan majoriti sahabat tidak menyepakati peperangan itu.
Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil.
Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah.
Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak peribadi muslim, para penegak
solat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]
Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan
beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.
Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan
al-Qurthubi menyatakan:
“Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama
ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis mahupun ahli
ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan majoriti para
teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam
peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali)
dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil
ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam
berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh keranaya, setiap
peribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai
penentang yang bererti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka
kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]
Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatas namakan salaf soleh
tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatas namakan para imam
mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin peribadi seperti Ibnu Taimiyah
dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama
Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah?
Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa
memberikan argumen mahupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis
(Rasul saw), mahupun ungkapan para salaf soleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’
tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat,
apalagi bukti ayat al-Quran.
Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi
Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali
sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang
pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu
Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh kerananya,
dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan
Ali. Tentu saja, metod yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana
yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, iaitu;
dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak
jujur sembari mengajukan pendapat peribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh
salaf soleh.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam
masalah tersebut:
1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan peribadi-peribadi selainnya, bahwa
khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]
2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (kerana itu mereka
berpecah atas) beberapa pendapat; Sebahagian berpendapat bahwa ia (Ali)
bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebahagian lagi
menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman
itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]
3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas
(kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu
dikeranakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus,
banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya
khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang
mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebahagian lagi dari mereka
menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya.
Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut
Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]
4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia
yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya
(Ali dan Muawiyah)…maka majoriti (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan
karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi
corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu
jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita
semak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali
bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk
yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai
panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.
1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barang siapa yang tidak mengakui
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara,
dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]
2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barang siapa
yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari
Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan
membahagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan
semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diredhai oleh para
sahabat Rasul. Mereka melaksanakan solat dibelakangnya. Mereka berperang
bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai
amirulmukminin. Mereka redha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti
mereka”.[37]
3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan
kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau
(imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].
4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana
mereka terdapat tiga tahap;
Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka
mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]
Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak
untuk disampaikan di sini.
Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang
khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standard
Ahlusunnah wal Jamaah:
1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi
dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda
kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku),
sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh kerana (membela)
sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan
barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai
hingga ini (iaitu janggut dari kepalanya)”.[40]
2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata:
“Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui
kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]
3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam
yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup
sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati surga
yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia
menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Kerana ia tiada akan pernah
mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada
kesesatan”.[42]
4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata;
Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu
surga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali
kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah,
atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]
5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang
penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di
Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan
engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang
membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui
sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’):
“Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta
dan anak-anak)”.[44]
6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid
dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang
Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui
pintunya”.[45] Dalam riwayat lain
disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang
menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]
7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari
al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau
(Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku
setelahku”.[47]
8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu
Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda:
“Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku
dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda:
“Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan
berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akhirat) kelak, maka carilah kedua
hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama
kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga
pertemuanku di Haudh kelak di akhirat”.[49]
9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan
dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi
kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas
kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka,
lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib,
bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]
Pernyataan
Rasmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak
menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas
nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah
bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan
buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan
kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan rasmi beberapa
ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib:
1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik
umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali.
Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in
berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]
2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai
pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas
kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman,
kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi)
mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]
3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat
sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan:
Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam (tanpa melanjutkannya)”.
Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar.
Kerana yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah
disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), mahupun dari
yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis.
Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya
manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah
yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah
berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi
kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu
telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan
tidak boleh diertikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat
dibenarkan”.[53]
Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat
terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu
khalifah pasca Rasul. Berbeza halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu
Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup
pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan
dengan pendapat salaf soleh.
Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:
Pada bahagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah
perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah
al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan
terhadap pribadi Ali”.[54]
2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat
dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]
3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman
dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikeranakan
penyimpangannya atas peribadi Ali”.[56]
4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali
bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali)
sangat merugikan kaum muslimin”.[57]
5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah
terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]
6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang
disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya
dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang
nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah.
red) adalah seorang munafik”.[59]
Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas
prilaku peribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu.
Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa
ungkapan mereka saja.
Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari
kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam
mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang
meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib.
Ahli hadis tersebut bernama
Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia.
Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60](kepemimpinan) yang
berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana
mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang
telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia
memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain kerana
kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]
Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara
berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan
kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf
soleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya.
Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis
yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling
shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan
biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada
yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan
orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain,
diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan
mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang
mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui
kebencian mereka terhadap Ali”.[64]
Jika sebahagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu
Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan
sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan
dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali
adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi
digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah peribadi semacam itu justeru lebih layak
jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita
dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan
ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.
Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf
maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan
mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah
yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf soleh namun tidak menyinggung-nyinggung
kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan
Rasul?
Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai
pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan
dengan kesepakatan ulama salaf mahupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah?
Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh?
Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justeru lebih layak untuk
mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh
(lawan dari kata salaf soleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta
gerombolannya.
Tetapi yang peliknya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan
mengatas namakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus
bersikap keras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain,
mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang
jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta
"ajaran rasmi" Ahlussunah wal Jamaah.
Mereka berfikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat
pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf
Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya
diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat
tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara
Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Kerana, jika antara
Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan
mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.
*************************************************************************
[1] Penulis: Mahasiswa S2
Jurusan Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik
Islam Iran.
Rujukan:
[2] Dalam kitab Mustadrak
as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar
Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang
dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih,
ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti
Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah,
Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri
di mata Allah. Oleh kerananya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam
kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali)
sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.
[3] Pembunuh Ali,
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling
celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3
Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4
Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.
[4] Dalam kitab Fathul-Bari
disebutkan bahwa peribadi-peribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i,
imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan
Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.
[5] Lihat Tarikh at-Tabari
Jil:2 Hal:62.
[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8
Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani.
[7] Lihat Shohih Muslim
Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi
Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan
surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6
Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413,
Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278… dan lain sebagainya.
[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6
Hal:398, karya as-Suyuthi.
[9] Kanz al-Ummal Jil:6
Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi.
[10] Hilliyah al-Auliya’
Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani.
[11] al-Istii’ab Jil:3
Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi.
[12] Tadzkirah al-Khawash
Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi.
[13] al-Istii’ab Jil:3
Hal:40.
[14] Al-Ishobah Jil:2
Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65.
[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1
Hal:400.
[16] Siar A’lam an-Nubala’
(khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi.
[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah
Jil:7 Hal:332.
[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7
Hal:511 & 461.
[19] Ibid Jil:8 Hal:97.
[20] Ibid Jil:7 Hal:515.
[21] Ibid Jil:7 Hal:512.
[22] Ibid Jil:7 Hal: 535.
[23] Ibid Jil:5 Hal:513.
[24] Ibid Jil:6 Hal:18.
[25] Ibid Jil:8 Hal:234.
[26] Dinukil dari Fathul Bari
Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83,
Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239.
[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4
Hal:485.
[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau
Jil:4 Hal:500.
[29] Pernyataan aneh yang
terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang
tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub
berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah
telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal),
Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam
kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4
Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur
karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb?
Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang
merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat
adalah Salaf Soleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?
[30] Ibid Jil:6 Hal:356.
[31] Faidh al-Qodir Jil:6
Hal:336.
[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2
Hal:404.
[33] Ibid Jil:1 Hal:537.
[34] Ibid Jil:6 Hal:419.
[35] Ibid Jil:4 Hal:682.
[36] Thobaqoot al-Hanabilah
Jil:1 Hal:45.
[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah
Hal:8.
[38] As-Sunnatu Halal
Hal:235.
[39] Al-Isti’aab Jil:3
Hal:213.
[40] Mustadrak as-Shahihain
Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbezaan redaksi- juga dapat ditemukan
dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud
al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:213, dan lain sebagainya.
[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2
Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbezaan redaksi- juga dapat ditemukan
dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2
Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dan
lain sebagainya.
[42] Mustadrak as-Shahihain
Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbezaan redaksi- juga
dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau
Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh
an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dan lain
sebagainya.
[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1
Hal:259.
[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290.
[45] Mustadrak as-Shahihain
Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbezaan redaksi juga dapat
ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.
[46] Ibid Jil:3 Hal:128.
Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq
al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377,
ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43,
dan lain sebagainya.
[47] Ibdi Jil:3 Hal:122.
Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu
Na’im Jil:1 Hal:63.
[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh
Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal
Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dan lain
sebagainya.
[49] Tarikh al-Baghdadi
Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi
Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7
Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan
sedikit perbedaan redaksi.
[50] Usud al-Ghabah Jil:4
Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti;
Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13
Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya
as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dan lain
sebagainya.
[51] Al-Isti’aab Jil:3
Hal:213.
[52] Ibid.
[53] Ibid Jil:3 Hal:214.
[54] Lisan al-Mizan Jil:6
Hal:319-320.
[55] Al-Hawi fi Sirah
at-Thahawi Hal:26.
[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah
Hal:120-121.
[57] Al-Maqolaat as-Saniyah
Hal:200.
[58] Dinukil dari kitab Nahwa
Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35.
[59] At-Tanbih wa ar-Rad
Hal:7.
[60] Hadis yang mengatakan:
Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin
setelahku).
[61] Silsilah al-Ahadis
as-Shohihah, Hadis no: 2223.
[62] Shohih Muslim Jil:1
Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601,
Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114.
[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5
Hal:594 Hadis ke-3717.
[64] Ibid Hal:593.