Sejarah
adalah rangkaian masa lalu yang teruntai sebagai cerminan masa kini dan esok.
Membaca sejarah dan riwayat hidup para tokoh,orang besar, nabi, serta
manusia-manusia suci, tidak sekedar menghafalkan kisah-kisah mengagumkan dan
kejadian luar biasa didalamnya untuk diceritakan. Membaca riwayat sejarah,
lebih jauh merenungkan dan memikirkannya serta mengkaji kehidupan mereka dengan
teliti agar dapat memperoleh pelajaran-pelajaran kehidupan, mengetahui
kunci-kunci taufik dan rahasia keagungan, sehingga dapat mengambil hikmah serta
kita teladani jejaknya. Terkhusus tentang Sayyidah Fatimah Azahra, beliau
memiliki keutaman-keutamaan dalam kehidupannya hingga penting untuk senantiasa
kita pelajari bagaimana pribadi perempuan agung ini. Sayyidah Fatimah Azzara
adalah teladan perempuan muslimah, ia hidup dalam naungan ayahandanya yang suci
dan tumbuh dibawah asuhan sang pembawa wahyu Allah Rasulullah Muhammad SAW.
Beliau secara langsung mendapatkan pendidikan islam yang murni dari Nabi
sendiri, hingga terpancarlah pribadi mulia dalam dirinya.
Mengenal Sayyidah Fatimah Azzahra
Kepribadian seseorang mempunyai kaitan yang sangat erat
dengan masyarakatnya, lingkungannya, dan kepribadian orang tuanya. Kedua orang
tua membentuk akhlak dan jiwa si anak, membatasi tiang-tiang kepribadiannya,
dan mempersembahkannya kepada masyarakat. Dapat dikatakan, kepribadian seorang
anak merupakan cermin dari kepribadian orang tua dan cara pendidikan mereka.
Sayyidah Fatimah hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian
Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat
kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ibundanya Khadijah binti
Khuwailid adalah seorang perempuan tangguh yang setia mendampingi Rasulullah
dan mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk dakwah islam. Ia berasal dari
keluarga bangsawan yang memiliki kedudukan yang tinggi dikalangan Quraisy.
Kelahirannya
Fatimah dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw
diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra’ dan
Mikraj beliau. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
Pernikahan Fatimah
Setelah
Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke
rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya
meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak
semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu
keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah).”[Tadzkirah Al-Khawash, hal.306]
Kemudian,
Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah
menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib. Tak lama setelah itu, Ali datang
menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang
Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya
seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah
kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah
memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya
dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya
atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?” Fatimah diam, lalu Rasulullah
pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda
kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29]
Rasulullah
saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya
berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’
Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”
Kemudian,
Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau
berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah
makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah
keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua
dan keturunannya dari setan yang terkutuk.” Rasulullah mencium
keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau
berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.”
Acara
pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki
sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan
perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya.
Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan
setuju apabila Ali menjual perisainya.
Keluarga
Teladan
Setelah
menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang
tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah
tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru
ini. Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu
kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw. Mereka menemukan saat-saat indah
bukan dalam kemewahan dan rumah tangga yang gemerlap, tapi pada waktu bersujud
dan isak tangis dihadapan Yang Mahakuasa. Rasulullah saw membimbing keluarga
muda ini dengan penuh perhatian.
Pada
suatu hari Nabi saw menemukan Fatimah sedang menggiling tepung. Ia memakai
pakaian dari kulit unta, nabi menangis dan ia berkata,“Wahai
Fatimah, kau teguk kepahitan dunia ini untuk kebagahiaan di akherat nanti”.
Fatimah berkata, “Alhamdulillah atas segala nikmat-nya dan
syukur kepada Allah atas segala anugrah-Nya.” [Tafsir
al-Tsa’labi, Al-Qusyairi, dan al-Dur al-Mantsur]
Kehidupan
suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk
menjalin kehidupan bersama.Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama,
tolong menolong, cinta, dan saling menghormati. Kehidupan Ali dan Fatimah
merupakan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Azzahra senantiasa
memberikan semangat kepada suaminya, membantunya berjihad dan berperang bersama
Rasulullah menegakkakn kalimat tauhid. Bahkan dalam peperangan, Fatimah sering
ikut dan merawat luka Rasulullah dan suaminya sendiri. Ia menghilangkan
sakitnya, membuang keletihannya, sehingga Ali mengatakan, “ketika aku
memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku” [Al-Khawarizmi,
Al-Manaqib,hal. 256]
Pembicaraan
mereka penuh dengan adab dan sopan santun. “Ya binta Rasulillah”; wahai putri
Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa
Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya
Amirul Mukminin” wahai pemimpin kaum mukmin. Demikianlah kehidupan Imam Ali dan
Sayidah Fatimah. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau
pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
Buah
Hati
Keluarga
Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami dan
anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan putra pertamanya yang
oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas
kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan
iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun
kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan
keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya
dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa
mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila
Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau
pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar
tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan,
“Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama tersebut. Dan
begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya
Fatimah Zahra.
Riwayat Keutamaan Azzahra
Muhammad Al Baqir ibn Ali Assajjad ibn Husain putra
Fatimah mengatakan, “Mengapa Fatimah dinamakan Azzahra?” ia
menjawab,
“karena Allah SWT menciptakannya dari cahaya keagungan-Nya, ketika ia bersinar
, ia menerangi langit dan bumi dengan cahayanya, menutupi pandangan-pandangan
para malaikat lalu mereka sujud kepada Allah dan bertanya, “Tuhan kami dan
junjungan kami, cahaya apakah ini? Maka Allah menjawab, ‘ini adalah cahaya dari
cahaya-Ku. Aku tempatkan ia dilangit-Ku dan aku ciptakan dia dari keagungan-Ku.
Aku keluarkan dia dari sulbi seorang Nabi-ku yang Aku utamakan atas sekalian
Nabi.. ” [ Al-Bihar, Jus 43. Hal 12]
Rasulullah saw mengatakan, “cukuplah
bagimu wanita-wanita di seluruh alam dengan Maryam binti Imran, Khadijah binti
Khuwailid.Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah binti Muzahim” [Kasyf
Al-Ghummah, II, hal. 76]
Aisyah mengatakan “Belum pernah saya melihat seorang pun yang
lebih benar bicaranya dibandingkan Fatimah, kecuali ayahnya.” [Kasyf
Alghummah II,hal. 8; Dzakha’ir Al-‘Ukba, hal. 44]
Rasulullah saw mengatakan, “wahai
Fatimah, sesungguhnya Allah marah dengan kemarahanmu dan rida dengan
keridaanmu” [Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 99]
Kita ketahui dengan pasti, Allah tidak akan rida kepada
sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan kebenaran.
Rasulullah saw juga mengatakan “Fatimah
adalah bagian dari diriku, barang siapa membuatnya marah berarti ia membuatku
marah.” [Shahih Al-Bukhari, II, hal.203]
Dapat kita perhatikan disini bahwa Fatimah juga memiliki
akhlak yang agung serta suci dari dosa, dan kejahatan, karena Nabi sendiri
adalah utusan Allah yang suci. Sebagaimana tentangnya Allah SWT
berfirman, “Dan sungguh engkau (muhammad) benar-benar
memiliki akhlak yang mulia,” [QS.Al-Qalam:4] dan bahwa ia, “tidak
berbicara menurut hawa nafsunya; ucapannya tidak lain dari wahyu yang
diwahyukan,” [QS.Ann-Najm:4] dengan demikian, tidak mungkin
kemarahan dan keridaan Rasulullah saw bertentangan dengan Fatimah sendiri..
Fatimah adalah Ahlulbait Nabi, dialah yang disebutkan
dalam Al-Quran“sesungguhnya Allah berkeinginan untuk
menghilangkan kotoran dari kamu, hai Ahlulbait, dan menyucikan kamu
sesuci-sucinya” [QS.Al-Ahzab: 33]
Imam Hasan meriwayatkan, “Aku belum pernah melihat seorang wanita yang
lebih alim daripada ibuku. Ia selalu melakukan solat dengan begitu lama
sehingga kakinya menjadi bengkak.” Imam Hasan juga
meriwayatkan:
“Aku melihat ibuku, Fatimah berdiri solat pada malam
Jumat. Beliau meneruskan solatnya dengan rukuk dan sujud sehingga subuh. Aku
mendengar beliau AH berdoa untuk kaum mu’minin dan mu’minah dengan menyebut
nama-nama mereka. Beliau berdoa untuk mereka semua tetapi beliau AH tidak
berdoa untuk dirinya sendiri. “Ibu,” Aku bertanya kepada beliau “Mengapa ibu
tidak berdoa untuk diri sendiri sebagaimana ibu berdoa untuk orang lain?”
Beliau menjawab,” Anakku, (berdoalah) untuk tetangga-tetanggamu diutamakan dan kemudian barulah dirimu sendiri.”[Bihar al-Anwar, Jilid 43, hlm.81-82; Abu Muhammad
Ordooni, Fatimah The Gracious, hlm.168-169;Sayyid Abdul Razak Kammoonah
Husseini, Al-Nafahat al-Qudsiyyah fi al-Anwar al-Fatimiyyah, Juz 13, hlm.45]
Rasul
pernah menyifati putrinya, Fatimah dengan sabdanya, “Allah telah memenuhi hati
dan seluruh anggota tubuh Fatimah dengan keimanan dan keyakinan.” Kepada
putrinya itu, beliau pernah bersabda, “Fatimah, Allah telah memilihmu dan menghiasimu dengan
makrifat dan pengetahuan. Dia juga telah membersihkanmu dan memuliakanmu di
atas wanita seluruh jagat.“
Kecintaan Rasulullah SAW kepada
Fatimah Zahra merupakan satu hal khusus yang layak untuk dipelajari dari
kehidupan beliau. Di saat bangsa Arab menganggap anak perempuan sebagai pembawa
sial dan kehinaan, Rasul memuliakan dan menghormati putrinya sedemikian besar.
Selain itu, Rasulullah SAW biasa memuji seseorang yang memiliki
keutamaan. Beliau mencintai dan
memuji Fatimah sedemikian, semata-mata karena mengetahui kedudukannya yang
tinggi. Dialah perempuan teladan dalam islam
Pandangan Tentang Perempuan
Fatimah ditanya tentang apa yang paling baik untuk
perempuan? “yang baik bagi perempuan adalah mereka tidak memandang laki-laki
dan laki-laki tidak memandang mereka” beliau ingin menegaskan disini pentingnya
menjaga hijab dan kesucian diri. Perempuan yang selalu menjaga harga dirinya
dan memelihara kemuliaannya. Ia berhijab dan keluar dari rumahnya dengan
sederhana tanpa berlebihan, menutupi tubuhnya yang dapat menggoda dan juga
perhiasannya dari laki-laki nonmuhrim, tidak memandang mereka dan mereka tidak memandangnya.
Detik-detik Terakhir kehidupan Fatimah
Kecintaan Fatimah AS kepada Tuhan
disebut oleh Rasulullah sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau
bersabda, “Keimanan kepada Allah
telah merasuk ke kalbu Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya tenggelam
dalam ibadah dan melupakan segalanya.” Manusia yang mengenal Tuhannya
akan menghiasi perilaku dan tutur katanya dengan akhlak yang terpuji.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan
Fatimah AS diakui oleh semua orang yang hidup sezaman dengannya. Dalam sejarah
disebutkan bahwa kaum fakir miskin dan mereka yang memiliki hajat, akan datang
ke rumah Fatimah ketika semua jalan yang bisa diharapkan membantu mengatasi
persoalan mereka telah tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan
mereka, padahal kehidupannya sendiri serba berkekurangan.
Point penting lain yang dapat
dipelajari dari kehidupan dan kepribadian penghulu wanita sejagat ini adalah
sikap tanggap dan peduli yang ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga,
pendidikan dan masalah sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan
penghambaan yang tulus kepada Allah akan menghalangi orang untuk berkecimpung
dalam urusan dunia. Kehidupan Sayyidah Fatimah Azzahra AS mengajarkan kepada
semua orang akan hal yang berbeda dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau
adalah tempat kehidupan, meski demikian hal itu tidak berarti harus
dikesampingkan. Beliau menegaskan bahwa dunia laksana anak tangga untuk menuju
ke puncak kesempurnaan, dengan syarat hati tidak tertawan oleh tipuannya.
Fatimah AS berkata, “Ya Allah, perbaikilah
duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku, karena ke
sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa berharap
kebaikan dan berkah dari dunia ini…”
Detik-detik akhir kehidupannya telah
tiba. Duka dan derita terasa amat berat untuk dipikul oleh putri tercinta Nabi
ini. Meski demikian, dengan lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha
Pencipta mengadukan keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah mengangkat tangannya
dan berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantara kemuliaan Nabi
dan kecintaannya kepadaku. Aku memohon kepada-Mu dengan nama Ali dan kesedihannya
atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu dengan perantara Hasan dan Husein serta
derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon kepada-Mu atas nama putri-putriku
dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah umat ayahku yang berdosa.
Ampunilah dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke dalam surga-Mu. Sesungguhnya
Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dari semua pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya,
Fatimah Azzahra AS menghadap kiblat setelah sebelumnya berwudhu. Beliau
mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah
kematian bagai kekasih yang aku nantikan. Ya Allah, curahkanlah rahmat dan
inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah arwah orang-orang yang suci
dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah, masukkanlah amalanku ke dalam
amalan-amalan yang Engkau terima.”
Tak lama sepeninggal Rasullulah saw,
Sayidah Fatimah Azzahra menyusul kehadirat Ilahi. Tanggal 3 Jumadi Tsani tahun
11 Hijriyyah, Fatimah Zahra putri kesayangan Nabi menutup mata untuk selamanya.
Beliau wafat meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berharga bagi kemanusiaan.
Hari ini, kami mengucapkan belasungkawa kepada para pecinta keluarga suci
Rasul.